PERANG, DIMANAPUN HANYA MENGHASILKAN KEHANCURAN. KEKALAHAN UNTUK SEMUA KEMENANGAN HANYA BUAT BISNIS SENJATA

30 Dec 2013

Lima Fakta 'Kiamat' di Bumi Sudah di Depan Mata

Blog Traffic Exchange Sepasang pemain ski terdampar di laut es Swedia

Planet Bumi makin bertambah tua. Para ilmuwan mulai mengkhawatirkan kondisi Bumi yang rapuh dan tidak mampu lagi mendukung kehidupan, termasuk bagi umat manusia. 

Para ilmuwan menyatakan, bentuk nyata dari kehancuran Bumi sudah dapat dilihat dari bencana perubahan iklim, serangan asteroid dari ruang angkasa, sampai munculnya berbagai penyakit pandemi, seperti penyakit menular yang menyebar melalui populasi manusia di kawasan yang luas, misalnya benua, atau bahkan di seluruh dunia.

Beberapa film juga sudah menceritakan tentang berakhirnya kehidupan di Bumi. Misalnya The Day After Tomorrow. Di film fiksi ilmiah itu menggambarkan kehancuran Bumi akibat dari pemanasan global.

Meskipun hanya sebuah fiksi, tapi banyak ilmuwan yang meramalkan pemanasan global menjadi salah satu penyebab kehancuran Bumi yang terbesar. 

Berikut lima penyebab nyata kehancuran Bumi dilansir Live Science, Minggu, 29 Desember 2013.

1. Pemanasan global
Ketakutan utama dari kehancuran Bumi adalah kerena perubahan iklim. Perubahan iklim dapat menyebabkan cuaca ekstrem, meningkatnya kekeringan di beberapa daerah, penyebaran penyakit ke seluruh dunia, dan daerah dataran rendah di planet Bumi akan tenggelam akibat naiknya permukaan air laut akibat mencair es di Kutub.

Bahkan, banyak ilmuwan yang menyatakan, perubahan iklim bisa menciptakan ketidakstabilan politik, bencana kekeringan, rusaknya ekosistem. Sehingga pada akhirnya Bumi tidak nyaman dan layak untuk ditempati.

Laporan terbaru American Meteorological Society menyatakan sepanjang tahun 2012 merupakan waktu yang mengerikan bagi bumi. Bumi secara keseluruhan akan menjadi tempat yang lebih panas.

Huffington Post, Rabu 7 Agustus 2013, melansir laporan terbaru yang diterbitkan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), menjabarkan bongkahan es di laut Arktik mencapai rekor terendah, sementara tingkat permukaan air laut dan gas rumah kaca mencapai rekor tertinggi sepanjang tahun lalu.

Laporan tersebut juga menemukan, tahun 2012 termasuk dalam salah satu dari 10 tahun terpanas dalam catatan iklim yang dikumpulkan di lebih dari 50 negara di seluruh dunia. 

Secara khusus, Amerika Serikat dan Argentina menjadi dua negara yang mengalami tahun terpanas yang pernah terjadi dalam sejarah iklim dua negara tersebut. "Temuan tersebut sangat mencolok, bumi secara keseluruhan menjadi tempat yang lebih panas," kata Administrator NOAA, Kathryn Sullivan.

Menurutnya, perubahan iklim itu dapat dilihat dari mencairnya es di Arktik dan Greenland secara dramatis. Lebih dari 97 persen lapisan es Greenland mencair sepanjang musim pnas, empat kali lebih besar dari rata-rata mencairnya es sepanjang 1981-2010.

Sementara, gas rumah kaca termasuk di dalamnya karbon dioksida, metana, nitro oksida terus menunjukkan peningkatan sepanjang 2012. Kebanyakan gas rumah kaca dihasilkan dari emisi bahan bakar fosil yang meningkat pada 2012.

Pakar iklim yang juga salah satu penulis laporan ini, James Renwick, menyatakan, prediksi yang menyatakan pemanasan global telah berhenti pada 1998 lalu karena tempearatur bumi yang naik perlahan adalah salah.

"Es telah meleleh sangat cepat, lalu suhu air laut dan permukaan laut naik lebih cepat. Semua ini menunjukkan pemanasan global bergerak lebih cepat dari yang kami telusuri saat ini," katanya.
Puncak Gunung Everest (Mount Everest)
Puncak Gunung Everest (Mount Everest)(famouswonders.com)
Di ajang pertemuan antarpeneliti Bumi dan luar angkasa, Meeting of the Americas, di Cancun, Meksiko, 14-17 Mei 2013, para peneliti mengeluarkan peringatan bahwa es di Bumi telah mencair, dan itu juga terjadi di Gunung Everest.

Lapisan es di puncak tertinggi dunia itu dipastikan meleleh. Untuk diketahui, Gunung Everest terletak di Pegunungan Himalaya, perbatasan antara Cina dan Nepal. Ketinggiannya mencapai 29.029 kaki, atau 8.848 meter di atas permukaan laut.

Ialah Sudeep Thakuri, seorang mahasiswa pascasarjana di University of Milan di Italia, yang bersama timnya menemukan, bahwa gletser di wilayah Gunung Everest telah menyusut sebanyak 13 persen dalam 50 tahun terakhir.

Dan, garis salju telah bergeser ke atas hingga 590 kaki, atau setara 180 meter, dilansir NBC News, Kamis 16 Mei 2013.

"Saya bersama rekan-rekan telah melakukan penelitian di Gunung Everest untuk melihat perubahan gletser, suhu, dan curah hujan di gunung tersebut dan Taman Nasional Sagarmatha," kata Thakuri.

Dia menyampaikan, tim peneliti juga menemukan, gletser telah menyusut sekitar 1.300 kaki atau setara 400 meter, sejak tahun 1962.

"Bahkan, baru-baru ini kembali terjadi penyusutan sekitar 10 centimeter. Itu diakibatkan menurunnya curah hujan dan meningkatnya suhu sebesar satu derajat Fahrenheit sejak tahun 1992," ujar Thakuri.

Perubahan Iklim?

Para peneliti menduga, mencairnya gletser di kawasan Gunung Everest adalah karena isu pemanasan global. Namun, saat ini para peneliti belum menemukan bukti kuat adanya korelasi antara es mencair di Everest dan perubahan iklim.

Tidak semua lapisan es di kawasan Himalaya mencair. Masih ada beberapa daerah yang tidak mencair, bahkan volume esnya bertambah, seperti di Gunung Karakoram yang berada di perbatasan Cina, India, dan Pakistan.

"Tapi, menyusutnya gletser di seluruh pegunungan Himalaya telah menarik perhatian global, karena gletser di daerah itu menyediakan sumber energi listrik dan air bagi sekitar 1,5 miliar orang," ungkap Thakuri. 

Topan Haiyan saat terjang Filipina 9 November 2013
Topan Haiyan saat terjang Filipina 9 November 2013(REUTERS/Erik De Castro)
Topan dahsyat Haiyan yang melanda Filipina bagian tengah akhir pekan lalu mengakibatkan sedikitnya 10.000 orang tewas dan dikhawatirkan terus bertambah serta 600.000 warga kehilangan tempat tinggal. Amukan topan yang kini telah sampai ke Vietnam itu diperkirakan juga menyimpan potensi resiko lain.

Menurut kalangan pengamat, badai atau topan dahsyat bisa mempercepat pemanasan global. Sebab, dampak pohon tumbang dalam jumlah besar akan melepaskan banyak karbon ke atmosfer.

Dilansir New Scientist, Selasa 12 November 2013, memang belum ada perhitungan secara pasti, tapi studi terbaru, pada 2007 silam, menunjukkan tumbangnya sejumlah besar pohon akibat bencana dan badai memang bisa mengarah ke pemanasan global. Perhitungan itu setidaknya bisa berdasarkan pada sebuah studi yang dipublikasikan tahun 2007 tentang dampak badai Katrina AS.

Badai itu mengakibatkan 105 teragram setara 105 juta ton karbon lepas pada saat terjadi bencana 2005 silam. Katrina saat itu merubuhkan 320 juta pohon. Jumlah karbon yang terlepas akibat badai Katrina itu lebih dari setengah jumlah karbon yang diserap hutan di negeri Paman Sam itu. Pada topan Haiyan, perhitungan pohon yang tumbang diperkirakan lebih besar dari dampak Katrina.

Justin Fisk, peneliti University of Maryland, AS, menilai bahwa tak selalu badai dahsyat mengakibatkan kerusakan yang dahyat pula. "Meskipun kekuatan angin yang lebih tinggi menyebabkan kerusakan yang lebih untuk area tertentu, kekuatan angin yang lebih rendah makin menjangkau area yang lebih luas," kata Fisk yang tengah melakukan studi lanjutan dampak badai.
"Karena itu, sebagian besar, badai besar yang kurang intensif berpotensi lebih merusak dari badai kecil yang lebih intensif," ujarnya.

Dibutuhkan jangka waktu panjang agar hutan atau wilayah bekas terdampak badai agar bisa menangkap karbon kembali. Fisk yang melihat data data kehutanan dan meteorologi AS sejak 1850 mengatakan di pantai Timur AS pernah diterjang badai besar pada paruh kedua abad ke 19, tapi sampai abad ke 20,  wilayah itu belum bisa kembali menyerap karbon kembali. Bahkan saat ini pertumbuhan hutan di situ makin parah.

Fisk belum memastikan sejauh mana dampak topan dahsyat di wilayah tropis bagi pemanasan global abad ini. Tapi model proyeksi iklim untuk cekungan Atlantik menunjukkan peningkatan frekuensi badai terkuat. Wilayah barat laut Pasifik, kecepatan angin maksimum dan tingkat curah hujan diperkirakan akan meningkat dalam badai tropis.
"Jika itu terjadi, hilangnya karbon dari topan Haiyan dan topan berikutnya tak pernah sepenuhnya pulih," ujar dia.  

2. Serangan Asteroid
Tercatat, hantaman meteor terdahsyat ke permukaan Bumi pada 30 Juni 1908, ke wilayah Siberia, Rusia menjadi ledakan meteor terbesar yang pernah terjadi sepanjang peradaban manusia.

Meski tidak menimbulkan korban jiwa, kejadian yang populer disebut Peristiwa Tunguska itu telah membumihanguskan 2.000 kilometer persegi wilayah hutan Siberia. 

Para ilmuwan di dunia juga sangat mengkhawatirkan ancaman hujan batuan ruang angkasa yang sewaktu-waktu bisa menghantam Bumi. 

Para astronom hanya mengetahui sebagian kecil dari jumlah batuan ruang angkasa, padahal masih banyak asteroid-asteroid yang tersembunyi di sistem Tata Surya. 

3. Ancaman Penyakit
Penyakit baru selalu muncul setiap tahun. Beberapa penyakit yang menimbulkan pandemi di seluruh dunia adalah wabah penyakit pernapasan akut (SARS), flu burung, dan baru-baru ini muncul virus korona yang dikenal dengan MERS di Arab Saudi.

Sekarang, manusia di suatu negara memiliki hubungan dengan menusia lain di negara lain. Sehingga itu yang menyebabkan pendemi penyakit-penyakit berbahaya bisa menyebar dengan cepat.

"Ancaman pandemi global sudah sangat nyata terjadi," kata Joseph Miller, dalam bukunya yang berjudul Biology.

4. Perang Nuklir
Saat ini, keberadaan teknologi nuklir, oleh sebagian masyarakat dipersepsikan sebagai senjata, bom, atau hal-hal lain yang negatif.

Nuklir memang menakutkan. Korea Utara pernah memamerkan kekuatan senjata nuklir. Belum lagi, negara-negara lain yang masih menyembunyikannya.

Jika senjata nuklir berada di tangan yang salah, bisa dibayangkan betapa besar dampaknya bagi kesenjangan makhluk di Bumi, tak terkecuali manusia.

5. Efek Bola Salju (Snowball)
Penyebab-penyebab kehancuran Bumi yang disebutkan di atas bisa saja terjadi. Tapi, beberapa peneliti sangat yakin, efek bola salju dari beberapa penyebab itu akan lebih mungkin terjadi.

Contohnya, pemanasan global akan mengakibatkan perubahan iklim pada suatu negara, sehingga ekosistem pada negara tersebut akan rusak. Seperti, tanaman yang tidak bisa menghasilkan makanan.

Bencana itu memang terlihat kecil, karena terjadi pada satu negara. Tapi, sebenarnya bencana kecil itu lama-kelamaan akan terus meluas ke seluruh dunia. Dan akan terus menggerogoti Bumi secara bertahap.


Referensi: dari Berbagai SUMBER



No comments: