Green Zone adalah aksi-thriller perang tahun 2010 ditulis oleh Brian Helgeland dan disutradarai oleh Paul Greengrass. Film ini dibuat karena terinspirasi oleh buku non-fiksi tahun 2006 Imperial Life in the Emerald City karya jurnalis Rajiv Chandrasekaran, yang didokumentasikan pada saat dia tinggal di Zona Hijau, Baghdad, Irak. Film ini dibintangi oleh Matt Damon, Amy Ryan, Greg Kinnear, dan Brendan Gleeson. Pembuatannya dimulai pada Januari 2008 di Spanyol dan kemudian dipindahkan ke Maroko dan dirilis di Australia dan Rusia pada 11 Maret 2010, dan di Amerika Serikat dan beberapa negara lain pada 12 Maret 2010. Film ini merupakan salah satu film Amerika Serikat yang berani mengungkap skandal perang Irak secara lebih terbuka.
Dalam film ini, diperlihatkan dengan lebih detail dan obyektif mengenai latar belakang serangan Amerika ke Irak pada tahun 2003 lalu.
Selama ini, invasi Amerika ke Irak selalu dipandang dari sudut hitam putih. Tergantung kita ada di pihak mana. Kalau kita berpikir ala Amerika, kita pasti membela Amerika, tapi sebaliknya, jika kita berpikir dari sisi pendukung Saddam, kita pasti menyalahkan Amerika.
Di film ini kita tidak diajak untuk menilai secara hitam putih kasus ini. Kita lebih ditunjukkan fakta betapa rumitnya keadaan di Irak saat itu. Kepentingan banyak pihak yang sekaligus menjalankan intrik-intrik politik, membuat banyak kebingungan terutama dari sisi pelaksana perang ini yaitu tentara di tingkat bawah.
Tentara Amerika yang pastinya diberangkatkan dengan semangat nasionalisme tinggi dan juga termotivasi untuk membela kebenaran dan kemanusiaan ternyata juga harus menyadari bahwa mereka hanyalah menjadi alat untuk kepentingan yang lebih tinggi (baca: presiden AS). Mereka pun akhirnya harus sadar bahwa mereka diberangkatkan dengan skenario yang berbeda dengan yang mereka tahu.
Isu yang diangkat pertama kali dalam invasi ke Irak adalah keberadaan WMD (Weapons of Mass Destruction/senjata pemusnah massal). Namun setelah berlangsung lama, tentara Amerika sendiri akhirnya sadar bahwa WMD sebenarnya hanya kedok untuk meggulingkan pemerintahan Saddam Hussein.
Kenyataannya, posisi Saddam sendiri secara politik tidak bagus di dalam negeri. Keluarga Saddam yang otoriter dan selalu hidup dengan sangat mewah memang menghancurkan wibawanya di mata rakyat. Akhirnya semakin banyak kubu yang berusaha mengambil keuntungan dari kejatuhan Saddam termasuk para pejabat tinggi yang dipercaya Saddam.
Jika kubu Saddam sendiri sudah banyak yang rontok, apalagi kekuatan lama yang memang memusuhi Saddam seperti kaum Syiah atau suku Kurdi. Kekuatan anti-Saddam inilah yang akhirnya menguatkan posisi Amerika di Irak dalam menggulingkan pemerintahan Saddam.
Dari film ini sebenarnya kita juga jadi tahu bahwa invasi ke Irak adalah hasil skenario dari pihak anti-Saddam dengan pemerintahan Amerika. Mereka yang secara kekuatan tidak bisa menggulingkan Saddam sendiri, akhirnya harus mengajak Amerika untuk membantu mereka.
Kepentingan kedua belah pihak juga tampak jelas. Anti-Saddam ingin ambil alih kekuasaan sambil berharap Irak bisa menjadi lebih demokratis. Sedangkan bagi Amerika, selain karena alergi terhadap orang-orang seperti Saddam (yang anti-Amerika), juga karena melihat peluang besar nilai ekonomi dalam perang Irak ini.
Film ini kembali menjadi reuni antara Matt Damon sebagai bintang utama dan sutradara Paul Greengrass. Sebelumnya, mereka bekerja bareng di film The Bourne Supremacy dan The Bourne Ultimatum.
Matt Damon berperan menjadi Roy Miller, seorang kepala perwira yang termasuk dalam jajaran tentara Amerika yang “diperalat” oleh pemerintahnya sendiri. Roy dan pasukannya selalu dibuat kecewa ketika setiap informasi yang dia dapat selalu tidak akurat. Roy yang masih saja beranggapan bahwa dia berangkat ke Irak karena ada WMD, akhirnya harus menghadapi konflik batin antara kewajibannya sebagai tentara yang harus mematuhi atasan dan kepedulian terhadap kebenaran.
Situasi yang penuh konflik batin ini mempertemukan Roy dengan Farid atau Freddy (diperankan Khalid Abdalla), seorang warga Irak yang kebetulan juga sangat dendam terhadap pemerintahan Saddam.
Pendekatan emosi yang memasukkan peran Freddy ke dalam cerita inilah yang paling menarik dalam film ini. Kita disuguhkan nasionalisme murni dari seorang warga Irak yang berharap masa depan yang lebih baik untuk negerinya.
Sekilas nasionalisme ini mungkin banyak terlewat oleh para penonton film ini yang akhirnya di banyak riview film Green Zone di beberapa blog menyatakan bahwa cerita film ini tidak istimewa. Padahal sebaliknya, cerita dalam film ini sangat menggugah kita dalam menilai sebuah konflik termasuk di konflik Irak. Bayangkan, ketika film dimulai, Roy yang menjadi tentara Amerika adalah orang yang anti-Saddam karena dianggap punya WMD. Kondisi ini berubah ketika tahu Saddam difitnah, dia menjadi condong ke pro-Saddam. Namun ketika dia menganal lebih jauh Freddy, dia kembali anti-Saddam dengan alasan yang berbeda. Alasannya kali ini adalah rasa nasionalisme, sebuah rasa yang tercecer di negara yang penuh pertumpahan darah, Irak.
Akting Damon adalah penampilan kelas satu, tetapi bakat Amy Ryan - yang memerankan wartawan Wall Street Journal - tersia-siakan. Penampilan yang bagus justru datang dari Khalid Abdalla yang memerankan seorang warga Irak dan sangat terguncang melihat invasi Amerika ke negaranya. "It's not for you to decide what happens here." adalah kata-kata mengesankan yang diucapkan karakter Abdalla kepada Miller.
Green Zone mengungkap fakta kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika. Memang, tema ini sudah basi saat film diluncurkan. Tetapi film ini bisa kembali mengingatkan pemerintah manapun agar tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh rezim Bush.
Green Zone mengungkap fakta kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika. Memang, tema ini sudah basi saat film diluncurkan. Tetapi film ini bisa kembali mengingatkan pemerintah manapun agar tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh rezim Bush.
Perang Irak (tahun 2003–2011), yang dikenal juga dengan istilah Pendudukan Iraq, Perang Teluk II, Perang Teluk III, atau, oleh Amerika Serikat, Operasi Pembebasan Irak, dimulai dengan invasi Irak pada tahun 2003. Okupasi yang kemudian dilakukan oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat dan Britania Raya mengakibatkan berlanjutnya peperangan antara para pemberontak dengan pasukan koalisi. Tentara Baru Irak lalu dibentuk untuk menggantikan tentara lama Irak setelah dibubarkan oleh koalisi, dan diharapkan tentara baru ini akan mengambil alih tugas-tugas koalisi setelah mereka pergi dari Irak.
Sebelum invansi dilaksanakan, pemerintah Amerika Serikat dan Britania Raya menuduh Irak sedang berusaha membuat senjata pemusnah masal yang mengancam kemanan nasional mereka, koalisi, dan sekutu regional. Pada tahun 2002,Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1441 yang mewajibkan Irak untuk bekerjasama sepenuhnya dengan inspektur senjata PBB guna membuktikan bahwa Irak tidak berada dalam suatu usaha membuat senjata pemusnah masal.Hans Blix, pemimpin dari tim inspeksi senjata yang dikirim, mengatakan bahwa tidak ditemukan senjata pemusnah masal dan Irak telah bekerja sama dengan aktif, akan tetapi, dibawah ketentuan-ketentuan tertentu dan penundaan-penundaan.
Di antara peperangan yang terjadi antara para pemberontak, koalisi, dan tentara baru Irak, perang saudara antar kelompok mayoritas Syi'ah dan minoritas Sunni masih berlanjut sampai sekarang. Sebab dan akibat terjadinya perang ini sampai kini masih kontroversial.
Pada tanggal 15 Desember 2011, Perang Irak dinyatakan berakhir, ditandai dengan pernyataan penutupan misi militer pasukan Amerika Serikat di Irak oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta.
No comments:
Post a Comment