Pesawat merupakan sarana transportasi yang memiliki arti yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi dan pertahanan, terutama disadari bahwa Indonesia menjadi negara kepulauan dengan kondisi geografis yang sulit ditembus tanpa sarana memadai transportasi. Dari kondisi tersebut di atas, muncul pemikiran bahwa sebagai negara kepulauan Indonesia berada dalam posisi untuk memiliki industri maritim dan penerbangan. Hal ini telah menyebabkan lahirnya industri pesawat terbang di Indonesia.
SEBELUM KEMERDEKAAN INDONESIA
Sejak Mithology dari Indonesia wayang dikembangkan dalam kehidupan budaya Indonesia dan sosok Gatotkaca menjadi tokoh legendaris sebagai 'pahlawan terbang', keinginan Indonesia untuk memiliki kemampuan membuat pesawat terbang termotivasi.
Era Pemerintah colonnial Belanda tidak memiliki program desain pesawat, sebaliknya mereka melakukan serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan lisensi, dan evaluasi teknis dan keselamatan untuk semua pesawat udara yang dioperasikan di seluruh Indonesia. Pada tahun 1914, Test Bagian Penerbangan (BAGIAN Uji Terbang) didirikan di Surabaya dengan tugas untuk mempelajari kinerja penerbangan pesawat di daerah tropis. Kemudian pada tahun 1930, hal ini diikuti oleh pembentukan Produksi Bagian Pesawat (BAGIAN Pembuatan Pesawat Udara) yang menghasilkan Canadian pesawat Avro-AL, dimana badan pesawat dimodifikasi terbuat dari kayu lokal. Fasilitas manufaktur kemudian pindah ke Lapangan Udara Andir atau Andir Airfield (sekarang Bandara Husein Sastranegara).
Saat itu di periode ini bahwa kepentingan untuk membuat pesawat dikembangkan dalam lokakarya milik pribadi.
Pada tahun 1937, delapan tahun sebelum Indonesia merdeka, karena ada permintaan dari seorang pengusaha lokal, beberapa pemuda Indonesia, dipimpin oleh Tossin membangun pesawat terbang di sebuah bengkel yang terletak di Jl. Pasirkaliki, Bandung. Mereka bernama PK pesawat. KKH. Pesawat ini pernah membuat terkejut komunitas aviasi dunia karena kemampuannya terbang ke Belanda dan daratan China bolak balik. Sebelum ini, sekitar 1922, Indonesia bahkan telah terlibat dalam modifikasi pesawat terbang di sebuah rumah pribadi di Jl. Cikapundung, Bandung.
Pada tahun 1938, atas permintaan LW. Walraven dan MV. Patist - desainer PK. KKH - sebuah pesawat yang lebih kecil dibangun di di bengkel di Jl. Kebon Kawung, Bandung.
ERA KEMERDEKAAN
Segera setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, kesempatan bagi Indonesia untuk mewujudkan impian mereka untuk membangun pesawat rencana dan kebutuhan mereka sendiri secara luas terbuka. Sejak saat itu Indonesia mulai sangat menyadari bahwa sebagai negara kepulauan Indonesia akan selalu membutuhkan sarana transportasi udara untuk kelancaran pemerintahan, pembangunan ekonomi dan pertahanan nasional.
Pada tahun 1946, Biro Perencanaan & Konstruksi didirikan pada TRI-Udara atau Angkatan Udara Republik Indonesia (sekarang disebut TNI-AU). Disponsori oleh Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan Sumarsono, sebuah lokakarya khusus didirikan di Magetan, dekat Madiun, Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 1948 mereka berhasil membuat mesin pertama-pesawat, didukung oleh mesin Harley Davidson, yang disebut WEL-X. Dirancang oleh Wiweko Supono pesawat itu kemudian dikenal sebagai RI-X.
Era ini ditandai dengan munculnya sejumlah klub aeromodelling yang menyebabkan lahirnya pelopor teknologi penerbangan negeri ini yakni Pringgoadisuryo.
Tapi mereka terpaksa menghentikan kegiatan ini karena Pemberontakan komunis Madiun dan agresi Belanda.
Dalam periode ini kegiatan penerbangan terutama dilakukan sebagai bagian dari revolusi fisik untuk kebebasan nasional. Di sini tersedia pesawat yang dimodifikasi untuk misi tempur. Agustinus Adisutjipto adalah tokoh yang paling luar biasa dalam periode ini, yang merancang dan penerbangan-diuji pesawat terbang serta dalam pertempuran udara nyata. Dia memodifikasi pesawat Cureng ke versi-serangan darat.
Setelah era kerja Belanda telah berakhir kegiatan yang disebutkan di atas kemudian dilanjutkan di Bandung sebuah lapangan udara Andir - kemudian dikenal sebagai Bandara Husein Sastranegara. Pada tahun 1953 kegiatan ini dilembagakan dalam Seksi Percobaan. Diawaki oleh 15 anggota, Seksi Percobaan berada di bawah pengawasan Komando Depot Perawatan Teknik Udara, yang dipimpin oleh Mayor Udara Nurtanio Pringgoadisurjo.
Berdasarkan desain Nurtanio itu, pada 1 Agustus 1954, bagian berhasil menerbangkan prototipe 'Si Kumbang', sebuah logam semua, pesawat bertempat duduk tunggal, dibuat tiga unit.
Pada 24 April, 1957, Kepala Staf Angkatan Udara Indonesia menerbitkan Keputusan No 68, Seksi Percobaan ditingkatkan menjadi sebuah organisasi yang lebih besar yang disebut Sub Depot Penyelidikan, Percobaan & Pembuatan.
Pada tahun berikutnya, 1958, prototipe latih dasar "belalang 89" berhasil diterbangkan. Sebagai produksi serial pesawat itu disebut belalang 90 dan itu dibuat dalam 5 unit, dan mereka dimanfaatkan calon percontohan kereta atas di Akademi Angkatan Udara & Pusat Penerbangan Angkatan Darat (Akademi Angkatan Udara & Pusat Penerbangan Angkatan Darat).
Pada tahun yang sama, pesawat olahraga "Kunang 25" diterbangkan. Filosofi dari pesawat ini adalah untuk memotivasi generasi muda di Indonesia yang tertarik di bidang pembuatan pesawat.
Untuk meningkatkan latar belakang aeronautika mereka, selama periode 1960'' s - 1964, Nurtanio dan tiga lainnya dikirim ke Far Eastern Air Transport Incorporated (FEATI) Filipina, salah satu universitas aeronautika pertama di Asia. Setelah menyelesaikan studi, mereka kembali ke Bandung untuk bekerja untuk LAPIP.
UPAYA MEMBANGUN INDUSTRI PESAWAT
Sejalan dengan capaian yang sudah diperoleh dan untuk memungkinkan untuk mengembangkan lebih cepat, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara Indonesia No 488, Agustus 1960, Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) atau Badan Penyusunan Industri Penerbangan didirikan. Diresmikan pada tanggal 16 Desember 1961, badan yang memiliki fungsi mempersiapkan pendirian industri penerbangan dengan kemampuan untuk mendukung kegiatan penerbangan nasional di Indonesia.
Berkaitan dengan hal ini, pada tahun 1961 LAPIP menandatangani perjanjian kerjasama dengan CEKOP, sebuah industri pesawat terbang Polandia, untuk membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Kontrak meliputi pembangunan fasilitas manufaktur pesawat terbang, pelatihan SDM dan memproduksi di bawah lisensi yang PZL-104 Wilga, yang kemudian dikenal sebagai Gelatik (beras burung). Pesawat yang diproduksi serial di 44 unit telah digunakan untuk mendukung kegiatan pertanian, transportasi ringan dan aero-club.
Pada saat yang hampir periode yang sama 1965, melalui Surat Keputusan Presidencial, KOPELAPIP (Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang) atau Command Eksekutif Penyusunan Aviation Industry dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari (Industri Pesawat Terbang Berdikari) didirikan.
Pada bulan Maret tahun 1966, Nurtanio meninggal saat penerbangan pengujian pesawat terbang, dan dalam rangka memperingati kontribusinya yang berharga bagi negaranya dan bangsa, yang KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari kemudian digabung menjadi LIPNUR / Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio atau Nurtanio Aviation Industri Lembaga.Dalam perkembangan lebih jauh LIPNUR menghasilkan pesawat latih dasar yang disebut LT-200 dan lokakarya dibangun untuk layanan purna jual-jasa, pemeliharaan dan perbaikan & overhaul.
Pada tahun 1962, berbasis di Keputusan Presidencial, yang Teknik Penerbangan ITB (Aviation Bagian Teknik ITB) didirikan sebagai bagian dari Departemen Mesin tersedia. Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie adalah perintis bagian ini penerbangan. Kedua tokoh di antara mereka yang termasuk dalam Program Beasiswa Mahasiswa Asing. Dimulai pada tahun 1958, melalui program ini, sejumlah mahasiswa Indonesia dikirim ke luar negeri (Eropa dan Amerika Serikat).
Sementara itu beberapa upaya lain dalam merintis pendirian industri pesawat terbang juga telah terus dilakukan oleh pemuda Indonesia - BJ Habibie - dari tahun 1964 hingga 1970-an. Dan dari gagasan brilyan tokoh inilah industri penerbangan Indonesia mulai menampakan wajahnya di dunia
No comments:
Post a Comment